Sunday 27 September 2009

NURDIN M TOP DALAM PERSPEKTIF PARODI

28 September 2009

Sembilan tahun melakukan aksi-aksi pengeboman di berbagai tempat di negeri yang multi kultural, multi etnis, multi bahasa, dan kaya akan sumber alam. Negeri itu adlah Indonesia. Indonesia yang kaya dan multi aspek tersebut justru dijadikan arena bagi aksi biadab dari si individu yang bernama Nurdin M Top. Akhirnya, Nurdin M Top ini mati ditembak oleh pasukan Dansus 88. Berakhirlah nyawa Nurdin ini dan berakhir pula episode aksi Nurdin M Top, maka jadilah Nurdin yang tidak Top lagi. Tertembaknya Nurdin yang tidak Top ini pada hari tanggal yang tidak perlu dingat, karena adanya kecemburuan dari sebagian warga terutama para korban dari aksi pengeboman dimana keluarga mati karena di bom justru tidak dingat hari maupun tanggalnya, misalnya kapan dan pada hari apa korban yang kritis meninggal di rumah sakit . Tidak tahu bukan, lalu kenapa harus dingat hari dan tanggal kematian si Nurdin yang tidak Top lagi ini.

Nurdin “tidak” Top dengan gagahnya berlalang buana selama sembilan tahun, dari satu pulau pindah ke pulau lain, dari satu kota pindah ke kota lain dengan gampangnya dan tanpa diketahui oleh warga setempat. Ketika tinggal di negeri kelahirnya saja, si Nurdin “tidak” Top ini merasakan tidak nyaman, selalu dikejar-kejar dan akan ditangkap oleh pemerintah Malaysia. Dari hasil observasi dan informasi bahwa Negara Indonesia adalah tempat yang sangat aman dan nyaman untuk tinggal dan hidup bagi para teroris, maka Nurdin “tidak” Top berangkat ke Indonesia, dan meninggalkan Malaysia, tanpa adanya kecurigaan dari pihak pemerintah Indonesia terutama pihak imigrasi airport kalau dia berangkat dengan pesawat udara, atau tidak perduli pihak beacukai dan pihak polisi pelabuhan laut kalau si Nurdin ini melalu jalan laut. Sudah merupakan rahasia warga asing bahwa masuk ke Indonesia sangat mudah hanya dengan memberikan uang tip yang berlebihan maka lolos untuk tinggal dan hidup di negeri ini. Memang saat itu birokrasi pemerintahan sangat bobrok sejak ditinggalkan oleh almarhum Bapak Soeharto yang diganti dengan pemerintahan reformasi. Mungkin masih dalam suasana eforia reformasi, kewaspadaan berkurang.

Nurdin “tidak” Top hidup dengan tanpa adanya gangguan dan kejaran dari pemerintah Indonesia maka dengan rasa aman merencanakan aksi pengeboman secara terencana dengan baik dan terbukti dalam pelaksaannya pengeboman berjalan dengan mulus tanpa tertangkap oleh pihak berwajib. Kembali hidup di desa dan menikah dengan anak gadis desa yang lugu dan bodoh. Kepala desa dan aparat desa serta masyarakat sekitarnya tidak mau perduli dengan warga baru yang tinggal dan hidup di sekitarnya. Budaya sungkan yang dimiliki dari warga desa untuk mencari tahu lebih banyak informasi tentang warga barunya. Atau karena kebodohan yang dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan warga masyarakat sehingga warga masyarakat tidak mampu bersikap kritis. Tentu saja karena hal ini lebih disebabkan kaena otak Nurdin ini sangat cerdas bisa mencari tempat yang warganya mayoritas bodoh dari tingkat pendidikan maupun rendahnya pengetahuan agamanya sehingga dengan mudah mempengaruhi warga desa dengan dalil-dalil agama yang mahir dimiliki oleh si Nurdin yang tidak Top lagi ini. Gadis desa sangat mudah dirayu dengan kemampuan bercinta yang luar biasa ditambah dengan tampan wajahnya yang membuat gadis desa tergoda untuk mau menjadi isteri. Orang tua si gadis dapat mudah ditundukan dengan memperlihatkan kemampuan mengajarkan dogma-dogma agamanya. Bahkan ada orang tua si gadis yang bangga apabila anaknya menikah dengan si “pembela agama”.

Kebodohan bukan hanya milik warga desa tetangga Nurdin ini, kebodohan juga merupakan milik dari kepala desa dan aparatnya. Sikap untuk dilayan dan bukan melayanani merupakan ciri sikap kepala desa dan aparatnya hampi seluruh desa di negeri ini, merupakan indikator yang harus dimiliki oleh kepala desa dan aparatnya agar mereka dapat dipandang sebagai penguasa dan berbeda status sosialnya dengan warga desa. Kebodohan juga menjadi milik dari pihak kepolisian, kabarnya si teroris ini pernah ditangkap di jalan raya lalu dilepaskan setelah diberikan duit oleh Nurdin, maka si Nurdin pun tersenyum dan dalam hatinya berkata”goblok dipelihara”. Pimpinan Polri merasa malu atas perbuatan oknum polisi, maka diberikan photo sang teroris kepada polisi jalan raya agar tidak tertipu lagi. Ternyata sembilan tahun pun polisi masih tertipu.Tertipu nih ye, ah..jangan-jangan tertipu lagi kalau tidak segera menemukan pelaku teror lainnya.

Ketika masih hidup si Nurdin “tidak” Top menjadi berita, dan ketika mati pun dia menjadi berita. Kematian Nurdin “tidak” Top menjadi menu yang lezat bagi pers dan pengamat teroris. Karena matinya gembong ini tidak berarti negeri ini aman dari aksi teror, aksi-aksi teror tetap eksis karena para pengikutnya akan tetap beraksi bahkan diramal akan melakukan aksi yang lebih sadis dan brutal. Ideologi berkembang pada nilai-nilai kenajisan dan sasaran aksi pengeboman bukan hanya kepada pemerintah Amerika serikat dan warga asing tetapi kepada pemerintah dan warga masyarakat Indonesia sendiri. Saudara kandung dan saudara tirinya pun bisa menjadi sasaran aksi bomnya apabila bertentang dengan ideologi yang dianutnya. Jangan-jangan aparat koruptor yang sedang dipenjara akan dibom juga, kalau ini mungkin saja masyarakat akan memandang berbeda terhadap teroris, bahkan adanya pembenaran terhadap aksinya.

Artinya bahwa aksi teroris yang belum tertangkap sampai saat ini perlu diwaspadahi karena aksinya akan lebih brutal dari pada aksi-aksi sebelumnya karena terjadi perubahan ideology dan sasaran akan menjadi lebih luas.Anehnya sampai saat ini para teroris dan jaringannya belum tertangkap. Masyarakat mungkin menduga bahwa para jaringan radikalisme ditunggu sampai menjadi kelas “buaya” dan bukan kelas “cecak”, artinya dibiarkan dahulu mempermahirkan diri dengan aksi pengeboman yang mengejutkan dunia, maka barulah polisi dengan pasukan elitenya Dansus 88 beraksi. Jika yang dilawan hanya kelas “cecak” berarti tidak seruh karena tidak seimbang kemampuan dan tingkat keterampilan dari kedua pihak. Memangnya koboi.

Harapan masyarakat menghendaki jaringan teroris ini diberantas sampai ke akar-akarnya. Tetapi apabila akarnya ditanamkan kepada bayi yang masih dalam kandungan, maka sudah pasti sangat sulit diberantas. Apakah mungkin terjadi seperti itu dalam merekrut generasi terorisnya. Cara seperti ini adalah cara yang paling mudah, aman dan sistematis. Dedengkot terorisisme belum juga tertangkap, maka ada kemungkinan cara ini sudah dilaksanakan. Selama mereka belum tertangkap oleh polisi, maka semakin banyak kesempatan mereka melahirkan bayi-bayi sebagai calon teroris. Artinya polisi memberikan kesempatan kepada gembong teroris untuk menjalan misinya ini. Polisi akan semakin sulit memberantas terorisme. Polisi dianggap sebagai pembunuh bayi dan anak, maka akan semakin gawat keberadaan polisi, polisi mendapat kecaman dari komisi perlindungan anak dan kelompok peduli anak.

Pelaku bom bunuh diri dipandang oleh jaringan teroris ini sebagai pahlawan dan langsung masuk surga. Tetapi dalam perspektif Nasir Abbas bahwa pelaku bom bunuh diri ini adalah manusia tidak berguna, manusia paling bodoh karena tidak mempunyai kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dalam organisasi jaringan teroris. Si ” pengantin” cukup dikorbankan saja sebagai pelaku pembawa bom bunuh diri. Kepribadian yang tidak stabil karena kehidupannya berantakan dan ditambah dengan pengetahuan agama sangat rendah, serta ditambah lagi dengan tingkat pendidikan rendah dan putus sekolah menjadi sangat mudah didoktrinisasikan oleh para pembina dalam jaringan organisasi teroris. Para pelaku teroris yang akan dikuburkan ini saja sangat sulit dan mendapat penolakan dari warga setempat, bagaimana pula pelaku ini bisa masuk ke surga, di bumi saja ditolak. Mungkin bisa juga masuk ke surga, karena sudah sangat marahnya malaikat melihat kelakuan yanga sangat biadab sehingga ditendang sekencang-kencangnya sehingga lewat dari api neraka dan masuk ke surga. Kalau malaikat itu punya rasa emosi.

No comments: