Sunday 3 October 2010

ERA REFORMASI: MENUJU MASYARAKAT PRIMITF?

Sekelompok mahasiswa/pelajar tawuran dengan kelompok mahasiswa/pelajar lainnya dengan lemparan batu dan senjata tajam. Merupakan ciri masyarakat primitf. Ketika sekelompok masyarakat desa bentrok dengan masyarakat desa lainnya dengan senjata tajam dan anak panah hanya rebutan perbatasan wilayah desa mengakibatkan korban luka berat dan mati, juga merupakan ciri masyarakat primitif. Ketika kelompok masyarakat menindas dan mengancam, bahkan memukul dan menusuk pemuka agama. Jelas merupakan ciri masyarakat primitf. Ketika individu menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk memperkaya hidupnya dan keluarganya bahkan anak cucunya yang mengakibatkan orang lain hidup menderita, ciri dari orang primitif. Ketika masyarakat tidak mempunyai pekerjaan sedangkan kelompok masyarakat lainnya gampang mencari pekerjaan karena menggunakan cara-cara illegal dengan kekuasaan dan kewenangannya mencoret pencari kerja yang masuk kualifikasi demi nafsu birahinya, juga ciri masyarakat primit. Ketika masyarakat sulit mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan undang-undang karena tidak mampu membayar biaya pendidikan yang mahal, juga ciri masyarakat primitf. Ketika kelompok penguasa yang tidak perduli dengan kondisi masyarakatnya menderita, jelas ciri masyarakat primitif. Ketika UUD 1945 dilanggar dengan peraturan daerah demi otonomi dan kepentingan mayoritas, juga ciri masyarakat primitf.Ketika masyarakat sulit mendapatkan fasilitas kesehatan dan cukup berobat dengan para dukun (bahkan dukun cilik), jelas juga ciri masyarakat primitif. Ketika seklompok masyarakat menganggam agamannya paling benar dan agama lainnya salah, jelas ciri masyarakat primitf. Ketika kelompok pejabat negara melakukan diskriminasi kepada pegawai laiannya yang berbeda agama, suku, dan tidak satu gerbong politik, tidak satu daerah, jelas ciri masyarakat primitf. Ketika orang tidak memperdulikan tetanggalainnya juga ciri masyarakat primitf.
Ciri masyarakat primitf tersebut sedang tumbuh subur di era reformasi di negeri ini. Artinya reformasi tidak bertujuan menuju masyarakat beradab dan modern, justru berbalik arah yaitu menuju masyarakat primitif. Pejabat negara dan sekelompok masyarakat tidak lagi berpikir untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Desentralisasi kekuasaan dimaknakan secara primitif. Kekuasaan diperoleh dengan kekuatan uang dan fisik. Menjadi bupati, walikota, gubernur, menteri, dan presiden dilakukan dengan proses kekuatan uang dan massa. Setelah mendapatkan kekuasaan maka massa pemilihnya dilupakan dan ditinggalkan. Terjadi mutasi besar-besaran kepada aparat pemerintah yang tidak mendukungnya dan tidak dalam satu gerbong politinya. Bahkan sangat primit terlihat jelas ketika penguasa mengangkat pegawainya yang tidak berkualitas tetapi yang penting satu kampung, satu suku, satu keinginan, satu gerbong politik, satu kenikmatan. Pejabat ini tentu saja masyarakat primitif.
Ada ribuan peraturan daerah di era reformasi ini menghambat daerahnya dalam investasi. Pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai tanpa adanya investasi maka rakyat akan tidak sejahtera. Maka yang kaya akan menjadi kaya, dan yang miskin akan menjadi lebih miskin.
Perencanaan pembangunan nasional disusun hanya sebagai penghias politik ekonomi bagi negeri ini. Rencana pembangunan nasional jangka panjang, menengah dan tahunan tidak dimplementasikan oleh penguasa daerah. Rencana pembangunan daerah besifat parsial dann pragmatis. Rencana Pembangunan di setiap daerah tidak dilaksanakan secara integralpada setiap sektoral. Pembangunan bidang pendidikan tidak terkait dengan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi baik pertanian dan industri tidak integral dengan pembangunan insfrastruktur jalan. Lapangan pekerjaan tidak dibangun dengan baik, hanya menuntut masyarakat agar menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan tanpa modal. Sistem pembangunan daerah tidak integral dengan sistem pembangunan daerah lainnya. Daerah membangunan perekonomian sendiri-sendiri. Akibat dari sistem pembangunan nasional yang tidak integral ini berakibat hilangnya dua pulau kepemilikannya.
Era reformasi hanya sebuah kenistaan. Pembangunan yang sudah dibangun oleh pemerintahan Orde Baru dengan sistem dan mekanismenya ditinggalkan. Massa orde baru hidup dengan kepastian hukum. Masa reformasi justru kepastian hukum menjadi milik masyarakat yang berduit, orang miskin hanya korban dari kekuasaan dan kebijakan. Nilai keprimitfan sudah terlihat dan akan berkembang biak dengan cepat bila tidak adanya kesadaran semua elite politik dan penguasa maupun pengusaha. Primit atau tidak ? Jawaban tidak hanya tersimpan di hati nurani.

Sunday 5 September 2010

MALAYSIA DAN INDONESIA : PANAS LAGI (Dalam Perspektif Kebebasan)

Panas, panas, panas lagi. Ciri hubungan antar dua Negara Malaysia dan Indonesia. Ya berasal dari negara jiran yang katanya serumpun yaitu menangkap aparat pemerintah dari Kementerian Perikanan dan Kelautan RI. Api Malaysia membakar kedalautan Negara RI. Pembakaran sudah dimulai ketika dua pulau dirampas Malaysia dari kedaulatan negara RI. Sepadan dan Legitan sudah lepas dari kesatuan negara RI. Masih ada lagikah pulau-pulau yang lain akan dilibas mereka? Mungkin saja mereka sudah mempersiapkan strategi untuk mencaplok pulau yang lain yang katanya jumlahnya ribuan. Inilah awal semakin memanasnya hubungan dua negara yang serumpun dan diperuncing lagi dengan penangkapan aparat pemerintah RI oleh polisi Malaysia.
Kenapa Malaysia mulai berani menunjukkan gigi taringnya yang sebenarnya baru tumbuh? Hal ini dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah kekuatan potensi Malaysia. Pesatnya perkembangan ekonomi jiran telah jauh dari perkembangan ekonomi Indonesia. Kehidupan rakyat Malaysia lebih makmur dari rakyat Indonesia. Perkembangan ekonomi dipacuh dengan cepat, tetapi tidak seimbang dengan luasnya wilayah negara mereka. Kemaniakan kerja ekonomi Malaysia dengan memanfaatkan pulau-pulau milik Indoensia yang tidak diurus dan terlantar kehidupan masyarakat pulau tersebut. Pulau-pulau tersebut dikelola dengan baik melaluai kekuatan modal ekonominya. Maka masyarakat pulau tersebut menjadi sejahtera. Malaysialah yang mampu memnunjukkan kemampuannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat dari pulau tersebut. Apakah pemerintah dan rakyat Indoensia harus marah?
Kalau bicara emosi tentu saja rakyat Indoensia harus geram dengan sikap Malaysia tersebut. Pulau-pulau lainnya yang tidak diurus mungkin juga akan dicaplok Malaysia. Wajar saja kegeraman rakyat Indoensia terkait dengan masalah “kedaulatan” negara NKRI. Namun rakyat Indoensia harus berani mengartikan apa yang dmaksud dengan kedaulatan tersebut? Apakah menelantarkan pulau-pulau dan ketidakperdulian terhadap hidup rakyat pulau tersebut masih bisa disebut “kedaulatan”?
Kemudian apakah sikap Malaysia mencaplok pulau-pulau, budaya, dan produk-produk ekonomi Indoensia dapat disebut sikap “kerakusan” Malaysia? Perubahan orientasi berpikir manusia di dunia ini dengan ciri globalisasi dan penegakan HAM yang terutama diindikasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang maju dan rasa keperdulian akan hidup manusia. Perubahan orientasi ini ada pada masyarakat dan pemerintah Malaysia. Atau apakah sikap Malaysia itu dapat disebut juga sikap “kerakusan”?
Nah, bagaimana melihatnya panasnya hubungan dua negara ini dari aspek potensi diri Indoensia. Jawabannya hanya ada pada satu kata yaitu “ketidakperdulian”. Ketidakperdulian pemerintah Indonesia terhadap anak bangsanya yang terlindas, menyebabkan rakyat perbatasan menjadi miskin. Kue pembangunan tidak sampai ke hidup mereka. Roda pembangunan tidak bergerak di tanah mereka. Sarana pendidikan tidak dibangun atau memang disengajakan. Insfratuktur jalan tidak dibangun, tetapi jalan alternatif untuk pulang mudik di pulau jawa langsung dibangun. Maka miskinlah rakyat perbatasan.
Faktor kerakusan dari para aparat pemerintah dan khususnya pejabat negara yang sangat sukah memeras dan korupsi. Demo nelayan Malaysia mengatakan bahwa mereka diperas milyaran rupiah agar dapat dilepaskan. Wajar toh kalau bangsa Indoensia tidak lagi mempunyai harga diri dan martabat sebagai bangsa yang besar. Malaysia melihat semua ini dan faktor kerakusan dan ketidakperdulian pemerintah dan pejabat negara menjadi keuatan diplomasi bagi Malaysia sehingga selalu memenangkan dalam mengatasi konflik dengan RI.
Sikap Malaysia ini harus membuka mata hati pemerintah dan pejabat negara yang sudah tertutup dengan ketidakperdulian, kerakusan, dan doyan korupsi. Sadarlah dan mulailah membenah diri. Pembelajaran yang sangat berharga dari Malaysia. Jika tidak akan terus tenggelam!!!