Sunday, 5 September 2010

MALAYSIA DAN INDONESIA : PANAS LAGI (Dalam Perspektif Kebebasan)

Panas, panas, panas lagi. Ciri hubungan antar dua Negara Malaysia dan Indonesia. Ya berasal dari negara jiran yang katanya serumpun yaitu menangkap aparat pemerintah dari Kementerian Perikanan dan Kelautan RI. Api Malaysia membakar kedalautan Negara RI. Pembakaran sudah dimulai ketika dua pulau dirampas Malaysia dari kedaulatan negara RI. Sepadan dan Legitan sudah lepas dari kesatuan negara RI. Masih ada lagikah pulau-pulau yang lain akan dilibas mereka? Mungkin saja mereka sudah mempersiapkan strategi untuk mencaplok pulau yang lain yang katanya jumlahnya ribuan. Inilah awal semakin memanasnya hubungan dua negara yang serumpun dan diperuncing lagi dengan penangkapan aparat pemerintah RI oleh polisi Malaysia.
Kenapa Malaysia mulai berani menunjukkan gigi taringnya yang sebenarnya baru tumbuh? Hal ini dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah kekuatan potensi Malaysia. Pesatnya perkembangan ekonomi jiran telah jauh dari perkembangan ekonomi Indonesia. Kehidupan rakyat Malaysia lebih makmur dari rakyat Indonesia. Perkembangan ekonomi dipacuh dengan cepat, tetapi tidak seimbang dengan luasnya wilayah negara mereka. Kemaniakan kerja ekonomi Malaysia dengan memanfaatkan pulau-pulau milik Indoensia yang tidak diurus dan terlantar kehidupan masyarakat pulau tersebut. Pulau-pulau tersebut dikelola dengan baik melaluai kekuatan modal ekonominya. Maka masyarakat pulau tersebut menjadi sejahtera. Malaysialah yang mampu memnunjukkan kemampuannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat dari pulau tersebut. Apakah pemerintah dan rakyat Indoensia harus marah?
Kalau bicara emosi tentu saja rakyat Indoensia harus geram dengan sikap Malaysia tersebut. Pulau-pulau lainnya yang tidak diurus mungkin juga akan dicaplok Malaysia. Wajar saja kegeraman rakyat Indoensia terkait dengan masalah “kedaulatan” negara NKRI. Namun rakyat Indoensia harus berani mengartikan apa yang dmaksud dengan kedaulatan tersebut? Apakah menelantarkan pulau-pulau dan ketidakperdulian terhadap hidup rakyat pulau tersebut masih bisa disebut “kedaulatan”?
Kemudian apakah sikap Malaysia mencaplok pulau-pulau, budaya, dan produk-produk ekonomi Indoensia dapat disebut sikap “kerakusan” Malaysia? Perubahan orientasi berpikir manusia di dunia ini dengan ciri globalisasi dan penegakan HAM yang terutama diindikasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang maju dan rasa keperdulian akan hidup manusia. Perubahan orientasi ini ada pada masyarakat dan pemerintah Malaysia. Atau apakah sikap Malaysia itu dapat disebut juga sikap “kerakusan”?
Nah, bagaimana melihatnya panasnya hubungan dua negara ini dari aspek potensi diri Indoensia. Jawabannya hanya ada pada satu kata yaitu “ketidakperdulian”. Ketidakperdulian pemerintah Indonesia terhadap anak bangsanya yang terlindas, menyebabkan rakyat perbatasan menjadi miskin. Kue pembangunan tidak sampai ke hidup mereka. Roda pembangunan tidak bergerak di tanah mereka. Sarana pendidikan tidak dibangun atau memang disengajakan. Insfratuktur jalan tidak dibangun, tetapi jalan alternatif untuk pulang mudik di pulau jawa langsung dibangun. Maka miskinlah rakyat perbatasan.
Faktor kerakusan dari para aparat pemerintah dan khususnya pejabat negara yang sangat sukah memeras dan korupsi. Demo nelayan Malaysia mengatakan bahwa mereka diperas milyaran rupiah agar dapat dilepaskan. Wajar toh kalau bangsa Indoensia tidak lagi mempunyai harga diri dan martabat sebagai bangsa yang besar. Malaysia melihat semua ini dan faktor kerakusan dan ketidakperdulian pemerintah dan pejabat negara menjadi keuatan diplomasi bagi Malaysia sehingga selalu memenangkan dalam mengatasi konflik dengan RI.
Sikap Malaysia ini harus membuka mata hati pemerintah dan pejabat negara yang sudah tertutup dengan ketidakperdulian, kerakusan, dan doyan korupsi. Sadarlah dan mulailah membenah diri. Pembelajaran yang sangat berharga dari Malaysia. Jika tidak akan terus tenggelam!!!

No comments: