Sunday, 3 October 2010

ERA REFORMASI: MENUJU MASYARAKAT PRIMITF?

Sekelompok mahasiswa/pelajar tawuran dengan kelompok mahasiswa/pelajar lainnya dengan lemparan batu dan senjata tajam. Merupakan ciri masyarakat primitf. Ketika sekelompok masyarakat desa bentrok dengan masyarakat desa lainnya dengan senjata tajam dan anak panah hanya rebutan perbatasan wilayah desa mengakibatkan korban luka berat dan mati, juga merupakan ciri masyarakat primitif. Ketika kelompok masyarakat menindas dan mengancam, bahkan memukul dan menusuk pemuka agama. Jelas merupakan ciri masyarakat primitf. Ketika individu menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk memperkaya hidupnya dan keluarganya bahkan anak cucunya yang mengakibatkan orang lain hidup menderita, ciri dari orang primitif. Ketika masyarakat tidak mempunyai pekerjaan sedangkan kelompok masyarakat lainnya gampang mencari pekerjaan karena menggunakan cara-cara illegal dengan kekuasaan dan kewenangannya mencoret pencari kerja yang masuk kualifikasi demi nafsu birahinya, juga ciri masyarakat primit. Ketika masyarakat sulit mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan undang-undang karena tidak mampu membayar biaya pendidikan yang mahal, juga ciri masyarakat primitf. Ketika kelompok penguasa yang tidak perduli dengan kondisi masyarakatnya menderita, jelas ciri masyarakat primitif. Ketika UUD 1945 dilanggar dengan peraturan daerah demi otonomi dan kepentingan mayoritas, juga ciri masyarakat primitf.Ketika masyarakat sulit mendapatkan fasilitas kesehatan dan cukup berobat dengan para dukun (bahkan dukun cilik), jelas juga ciri masyarakat primitif. Ketika seklompok masyarakat menganggam agamannya paling benar dan agama lainnya salah, jelas ciri masyarakat primitf. Ketika kelompok pejabat negara melakukan diskriminasi kepada pegawai laiannya yang berbeda agama, suku, dan tidak satu gerbong politik, tidak satu daerah, jelas ciri masyarakat primitf. Ketika orang tidak memperdulikan tetanggalainnya juga ciri masyarakat primitf.
Ciri masyarakat primitf tersebut sedang tumbuh subur di era reformasi di negeri ini. Artinya reformasi tidak bertujuan menuju masyarakat beradab dan modern, justru berbalik arah yaitu menuju masyarakat primitif. Pejabat negara dan sekelompok masyarakat tidak lagi berpikir untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Desentralisasi kekuasaan dimaknakan secara primitif. Kekuasaan diperoleh dengan kekuatan uang dan fisik. Menjadi bupati, walikota, gubernur, menteri, dan presiden dilakukan dengan proses kekuatan uang dan massa. Setelah mendapatkan kekuasaan maka massa pemilihnya dilupakan dan ditinggalkan. Terjadi mutasi besar-besaran kepada aparat pemerintah yang tidak mendukungnya dan tidak dalam satu gerbong politinya. Bahkan sangat primit terlihat jelas ketika penguasa mengangkat pegawainya yang tidak berkualitas tetapi yang penting satu kampung, satu suku, satu keinginan, satu gerbong politik, satu kenikmatan. Pejabat ini tentu saja masyarakat primitif.
Ada ribuan peraturan daerah di era reformasi ini menghambat daerahnya dalam investasi. Pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai tanpa adanya investasi maka rakyat akan tidak sejahtera. Maka yang kaya akan menjadi kaya, dan yang miskin akan menjadi lebih miskin.
Perencanaan pembangunan nasional disusun hanya sebagai penghias politik ekonomi bagi negeri ini. Rencana pembangunan nasional jangka panjang, menengah dan tahunan tidak dimplementasikan oleh penguasa daerah. Rencana pembangunan daerah besifat parsial dann pragmatis. Rencana Pembangunan di setiap daerah tidak dilaksanakan secara integralpada setiap sektoral. Pembangunan bidang pendidikan tidak terkait dengan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi baik pertanian dan industri tidak integral dengan pembangunan insfrastruktur jalan. Lapangan pekerjaan tidak dibangun dengan baik, hanya menuntut masyarakat agar menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan tanpa modal. Sistem pembangunan daerah tidak integral dengan sistem pembangunan daerah lainnya. Daerah membangunan perekonomian sendiri-sendiri. Akibat dari sistem pembangunan nasional yang tidak integral ini berakibat hilangnya dua pulau kepemilikannya.
Era reformasi hanya sebuah kenistaan. Pembangunan yang sudah dibangun oleh pemerintahan Orde Baru dengan sistem dan mekanismenya ditinggalkan. Massa orde baru hidup dengan kepastian hukum. Masa reformasi justru kepastian hukum menjadi milik masyarakat yang berduit, orang miskin hanya korban dari kekuasaan dan kebijakan. Nilai keprimitfan sudah terlihat dan akan berkembang biak dengan cepat bila tidak adanya kesadaran semua elite politik dan penguasa maupun pengusaha. Primit atau tidak ? Jawaban tidak hanya tersimpan di hati nurani.

Sunday, 5 September 2010

MALAYSIA DAN INDONESIA : PANAS LAGI (Dalam Perspektif Kebebasan)

Panas, panas, panas lagi. Ciri hubungan antar dua Negara Malaysia dan Indonesia. Ya berasal dari negara jiran yang katanya serumpun yaitu menangkap aparat pemerintah dari Kementerian Perikanan dan Kelautan RI. Api Malaysia membakar kedalautan Negara RI. Pembakaran sudah dimulai ketika dua pulau dirampas Malaysia dari kedaulatan negara RI. Sepadan dan Legitan sudah lepas dari kesatuan negara RI. Masih ada lagikah pulau-pulau yang lain akan dilibas mereka? Mungkin saja mereka sudah mempersiapkan strategi untuk mencaplok pulau yang lain yang katanya jumlahnya ribuan. Inilah awal semakin memanasnya hubungan dua negara yang serumpun dan diperuncing lagi dengan penangkapan aparat pemerintah RI oleh polisi Malaysia.
Kenapa Malaysia mulai berani menunjukkan gigi taringnya yang sebenarnya baru tumbuh? Hal ini dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah kekuatan potensi Malaysia. Pesatnya perkembangan ekonomi jiran telah jauh dari perkembangan ekonomi Indonesia. Kehidupan rakyat Malaysia lebih makmur dari rakyat Indonesia. Perkembangan ekonomi dipacuh dengan cepat, tetapi tidak seimbang dengan luasnya wilayah negara mereka. Kemaniakan kerja ekonomi Malaysia dengan memanfaatkan pulau-pulau milik Indoensia yang tidak diurus dan terlantar kehidupan masyarakat pulau tersebut. Pulau-pulau tersebut dikelola dengan baik melaluai kekuatan modal ekonominya. Maka masyarakat pulau tersebut menjadi sejahtera. Malaysialah yang mampu memnunjukkan kemampuannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat dari pulau tersebut. Apakah pemerintah dan rakyat Indoensia harus marah?
Kalau bicara emosi tentu saja rakyat Indoensia harus geram dengan sikap Malaysia tersebut. Pulau-pulau lainnya yang tidak diurus mungkin juga akan dicaplok Malaysia. Wajar saja kegeraman rakyat Indoensia terkait dengan masalah “kedaulatan” negara NKRI. Namun rakyat Indoensia harus berani mengartikan apa yang dmaksud dengan kedaulatan tersebut? Apakah menelantarkan pulau-pulau dan ketidakperdulian terhadap hidup rakyat pulau tersebut masih bisa disebut “kedaulatan”?
Kemudian apakah sikap Malaysia mencaplok pulau-pulau, budaya, dan produk-produk ekonomi Indoensia dapat disebut sikap “kerakusan” Malaysia? Perubahan orientasi berpikir manusia di dunia ini dengan ciri globalisasi dan penegakan HAM yang terutama diindikasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang maju dan rasa keperdulian akan hidup manusia. Perubahan orientasi ini ada pada masyarakat dan pemerintah Malaysia. Atau apakah sikap Malaysia itu dapat disebut juga sikap “kerakusan”?
Nah, bagaimana melihatnya panasnya hubungan dua negara ini dari aspek potensi diri Indoensia. Jawabannya hanya ada pada satu kata yaitu “ketidakperdulian”. Ketidakperdulian pemerintah Indonesia terhadap anak bangsanya yang terlindas, menyebabkan rakyat perbatasan menjadi miskin. Kue pembangunan tidak sampai ke hidup mereka. Roda pembangunan tidak bergerak di tanah mereka. Sarana pendidikan tidak dibangun atau memang disengajakan. Insfratuktur jalan tidak dibangun, tetapi jalan alternatif untuk pulang mudik di pulau jawa langsung dibangun. Maka miskinlah rakyat perbatasan.
Faktor kerakusan dari para aparat pemerintah dan khususnya pejabat negara yang sangat sukah memeras dan korupsi. Demo nelayan Malaysia mengatakan bahwa mereka diperas milyaran rupiah agar dapat dilepaskan. Wajar toh kalau bangsa Indoensia tidak lagi mempunyai harga diri dan martabat sebagai bangsa yang besar. Malaysia melihat semua ini dan faktor kerakusan dan ketidakperdulian pemerintah dan pejabat negara menjadi keuatan diplomasi bagi Malaysia sehingga selalu memenangkan dalam mengatasi konflik dengan RI.
Sikap Malaysia ini harus membuka mata hati pemerintah dan pejabat negara yang sudah tertutup dengan ketidakperdulian, kerakusan, dan doyan korupsi. Sadarlah dan mulailah membenah diri. Pembelajaran yang sangat berharga dari Malaysia. Jika tidak akan terus tenggelam!!!

Wednesday, 21 October 2009

REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAH DALAM PERPSEKTIF KEBEBASAN

Reformasi Birokrasi Pemerintahan mulai diembus pada tahun 2008 dalam sebuah kebijakan Menteri PAN yang dituangkan pada Peraturan Menteri Negara PAN Nomor :PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Karena kebijakan ini hanya sebuah pedoman umum, maka setiap instansi pemerintah baik yang berada di pusat maupun di daerah atau dipelosok desa dipersilahkan untuk memahami, menterjemahkan, dan menerapkan sendiri secara bebas dengan kekuatan sumber daya yang sangat terbatas. Kementerian PAN sangat memaklumi hal ini, maka kebijakan tersebut tidak perlu disosialisasikan kepada jajaran aparatur negara yang tersebar dalam otonomi daerah masing-masing. Atau Kementerian PAN sendiri masih bingung dengan rumusan kebijakan yang dibuat sendiri. Bisa jadi bingung karena tidak paham betul dengan rumusan dari reformasi birokrasi karena rumusan ini mungkin dibuat oleh konsultan. Suatu kemungkinan. Kalau dugaan ini salah, maka harus dianggap salah, tetapi kalau dianggap benar, maka anggap saja benar. Atau Kementerian PAN belum melaksanakan reformasi birokrasi secara benar seperti diamanatkan dalam maksud dan tujuan dari kebijakan Pedoman Umum eformasi Birokrasi.

Indah sekali rumusan maksud dan tujuan dari reformasi birokrasi, yaitu merubah maindset, sikap dan perilaku, serta nilai-nlai kerja dari aparatur pemerintah dan birokrasi yang sudah membusuk dan terkontaminasi "limbah beracun" yang bernama korupsi. Penyakit korupsi ini sudah masuk dalam stadium empat harus disembuhkan dengan kebijakan dari Menpan ini. Dengan demikian hasil yang akan dicapai akan lebih baik, seperti yang diharapkan dalam pedoman umum reformasi birokrasi, yaitu birokrasi yang bersih, birokrasi yang efisien, efektif dan produktif, birokrasi yang transparan, birokrasi yang melayani masyarakat, birokrasi yang akuntabel sehingga terwujud suatu postur aparatur negara yang integritas tinggi, aparatur yang produktifitas tinggi dan bertanggung jawab, dan aparatur negara yang mempunyai kemampuan memberikan pelayanan prima.

Memang masih banyak kalangan masyarakat yang sangat meragukan upaya suci ini dapat terwujud. tentu saja keraguan ini muncul dari kalangan pengamat birokrasi. Pengamat yang tidak menggunakan pemikiran yang kontroversial, berarti bukan seorang pengamat.

Keraguan merubah mindset, skap dan perilaku, serta nilai-nilai kerja birokrasi yang sudah membusuk pada tubuh aparatur negara untuk menjadi lebih baik dan bebas dari korupsi juga datang dari elite politikus. Wajar saja politikus bersikap seperti itu karena politikus itu harus bersikap kritis dan harus melakukan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan yang notabene dijalankan oleh aparatur pemerintah. Atau memang kehendak dari para politikus bahwa birokrasi pemerintah harus busuk agar demikian orang-orang partai dapat masuk ke dalam birokrasi pemerintahan untuk memimpin dan mendulang 'emas' bagi kepentingan pribadi dan partainya. Birokrasi tetap busuk akan lebih baik.!!

Tetapi bagaimana pandangan dari birokrat pemerintahan sendiri ? Ada beberapa pandangan terhadap reformasi birokrasi, yaitu adanya pandangan yang pro terhdap reformasi birokrasi; ada pandangan yang menolak reformasi, serta ada pandangan yang 'abu-abu'. Pandangan yang 'pro' dilandasi adanya pandangan bahwa birokrasi pemerintah pada semua instansi pemerintah sudah rusak dn busuk sehingga perlu perubahan total dan bila perlu perubahan radikal pada mindset, sikap dan perilaku, serta nilai-nilai kerja. Pandangan ini ada pada kelompok birokrat muda yang belum terkontaminasi dan terjerumus dlam kebusukan penyakit korupsi. Pola pikir birokrat muda ini masih murni dengan idealisme untuk mengabdi bagi kepentingan pemerintah dan rakyat yang sangat mengharapkan pelayanan prima. Hanya saja kelompok ini dipandang sebagai kelompok radikal yang tidak bisa bekerjasama dengan pimpinan karena dianggap sangat membahayakan kedudukan dan kepentingannya untuk meningkatkan kesejahteraan secara ilegal. Kelompok birokrat muda ini dipandang sebagai kelompok reforasi murni karena kelompok yang 'pro' ditemukan juga kelompok yang pro tidak murni. Kelompok pro yang tidak murni hanya setuju kepada program reformasi birokrasi, tetapi tidak mau merubah mindset, sikap dan perilaku, serta nilai-nilai kerja yang sudah busuk. Kelompok ini mempunyai mindset, sikap dan perilaku yang seolah-olah sudah berubah. Kelompok pro yang tidak murni berada pada posisi yang sudah mapan dimana korupsi dan penyalahgunaan wewenang adalah gaya kepemimpinannya. Sayangkan bila jabatan dan wewenanganya tidak dimanfaatkan untuk memperkaya diri. Apakah kelompok ini tidak takut dengan KPK? Tentu saja mereka tidak takut karena KPK hanya organisasi baru dan pemimpinnya tidak paham dan kurang pengalaman dalam melakukan korupsi. Sedangkan kelompok pro yang tidak murni ini lebih berpengalaman dan mempunyai strategi yang komprehensif untuk melakukan korupsi dan melakukan pengamanan dirinya. Harus ada contoh dong, mungkin bisa dilihat pada instansi Kepolisian dalam pengurusan sim dimana banyak calo sim bergentayangan di lingkungan polda daan mogot yang jelas mempunyai jaringan dengan orang dalam untuk mempelancar keluarnya sim dengan harus membayar minimal tiga ratus ribu rupiah tetapi prosedur pembuatan sim tetap dijalankan secara legal. Cantik bukan permainannya, lebih cantik lagi bila masyarakat tidak menggunakan calo tetapi sulit lulus tes tertulis dan praktek. Hem..cantik..cantik.

Nah, kelompok yang tidak setuju reformasi birokrasi menganggap bahwa reformasi birokrasi ini merupakan kendala untuk mencapai impian yang lebih baik mendapat kedudukan yang lebih tinggi yang otamatis kesempatan untuk 'maling' terbuka lebar. Kelompok ini ada yang tegas menolak reformasi tetapi takut mendeklarasikan diri. Tetapi ada kelompok yang menolak reformasi tidak secara terang-terangan karena kedudukan yang 'basah' dan 'empuk' tetapi bibirnya mengucapkan reformasi birokrasi secara sistimatis. Kelompok ini bisa disebut juga sebagai kelompok 'kadal' yang biasanya berada pada posisi mapan.

Sedangkan kelompok 'abu-abu' adalah kelompok birokrat yang tidak perduli dengan kebijakan reformasi karena tidak ada keuntunganya bagi dirinya. disamping mereka berpikir bahwa kebijakan ini hanya sebuah kamuflase saja dan sebuah sandiwara yang dimainkan secara menarik oleh birokrat. Bisa juga kelompok ini adalah kelompok sakit hati karena keinginan untuk mendpatkan jabatan lebih tinggi tidak dapat diraih karena tidak mau ikut bermain dalan aturan permainan seperti DUK (Daftar Urutan Keuangan).

Pelantikan kabinet baru oleh Presiden SBY pada tanggal 22 Okober 2009, menetapkan Kementerian yang mengurus reformasi birokrasi pemerintahan yang diberikan sepenuhnya kepada Menteri PAN. Dari aspek kedudukan Menpan berada dalam posisi yang sama dengan menteri-menteri lain yang memimpin departemen. Sedangkan pembinaan kepegawaian dan birokrasi pada setiap departemen merupakan tanggunjawab masing-masing menteri. Menpan jangan turut campur urusan dapur dari setiap departemen. Jadi sulit untuk lebih efektif bekerjanya Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi Pemerintahan. Presiden harus memberikan wewenang dan kekuasaan yang lebih besar dengan sebuah keputuasan politik diperkuat sebuah keputusan presiden agar menteri tidak merasa malu dan dilangkahi. Hem..mungkin bisa dilakukan. Semoga Reformasi Birokrasi Pemerintahan terwujud dalam capaian waktu lima tahun kedepan. Amin.

Sunday, 27 September 2009

NURDIN M TOP DALAM PERSPEKTIF PARODI

28 September 2009

Sembilan tahun melakukan aksi-aksi pengeboman di berbagai tempat di negeri yang multi kultural, multi etnis, multi bahasa, dan kaya akan sumber alam. Negeri itu adlah Indonesia. Indonesia yang kaya dan multi aspek tersebut justru dijadikan arena bagi aksi biadab dari si individu yang bernama Nurdin M Top. Akhirnya, Nurdin M Top ini mati ditembak oleh pasukan Dansus 88. Berakhirlah nyawa Nurdin ini dan berakhir pula episode aksi Nurdin M Top, maka jadilah Nurdin yang tidak Top lagi. Tertembaknya Nurdin yang tidak Top ini pada hari tanggal yang tidak perlu dingat, karena adanya kecemburuan dari sebagian warga terutama para korban dari aksi pengeboman dimana keluarga mati karena di bom justru tidak dingat hari maupun tanggalnya, misalnya kapan dan pada hari apa korban yang kritis meninggal di rumah sakit . Tidak tahu bukan, lalu kenapa harus dingat hari dan tanggal kematian si Nurdin yang tidak Top lagi ini.

Nurdin “tidak” Top dengan gagahnya berlalang buana selama sembilan tahun, dari satu pulau pindah ke pulau lain, dari satu kota pindah ke kota lain dengan gampangnya dan tanpa diketahui oleh warga setempat. Ketika tinggal di negeri kelahirnya saja, si Nurdin “tidak” Top ini merasakan tidak nyaman, selalu dikejar-kejar dan akan ditangkap oleh pemerintah Malaysia. Dari hasil observasi dan informasi bahwa Negara Indonesia adalah tempat yang sangat aman dan nyaman untuk tinggal dan hidup bagi para teroris, maka Nurdin “tidak” Top berangkat ke Indonesia, dan meninggalkan Malaysia, tanpa adanya kecurigaan dari pihak pemerintah Indonesia terutama pihak imigrasi airport kalau dia berangkat dengan pesawat udara, atau tidak perduli pihak beacukai dan pihak polisi pelabuhan laut kalau si Nurdin ini melalu jalan laut. Sudah merupakan rahasia warga asing bahwa masuk ke Indonesia sangat mudah hanya dengan memberikan uang tip yang berlebihan maka lolos untuk tinggal dan hidup di negeri ini. Memang saat itu birokrasi pemerintahan sangat bobrok sejak ditinggalkan oleh almarhum Bapak Soeharto yang diganti dengan pemerintahan reformasi. Mungkin masih dalam suasana eforia reformasi, kewaspadaan berkurang.

Nurdin “tidak” Top hidup dengan tanpa adanya gangguan dan kejaran dari pemerintah Indonesia maka dengan rasa aman merencanakan aksi pengeboman secara terencana dengan baik dan terbukti dalam pelaksaannya pengeboman berjalan dengan mulus tanpa tertangkap oleh pihak berwajib. Kembali hidup di desa dan menikah dengan anak gadis desa yang lugu dan bodoh. Kepala desa dan aparat desa serta masyarakat sekitarnya tidak mau perduli dengan warga baru yang tinggal dan hidup di sekitarnya. Budaya sungkan yang dimiliki dari warga desa untuk mencari tahu lebih banyak informasi tentang warga barunya. Atau karena kebodohan yang dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan warga masyarakat sehingga warga masyarakat tidak mampu bersikap kritis. Tentu saja karena hal ini lebih disebabkan kaena otak Nurdin ini sangat cerdas bisa mencari tempat yang warganya mayoritas bodoh dari tingkat pendidikan maupun rendahnya pengetahuan agamanya sehingga dengan mudah mempengaruhi warga desa dengan dalil-dalil agama yang mahir dimiliki oleh si Nurdin yang tidak Top lagi ini. Gadis desa sangat mudah dirayu dengan kemampuan bercinta yang luar biasa ditambah dengan tampan wajahnya yang membuat gadis desa tergoda untuk mau menjadi isteri. Orang tua si gadis dapat mudah ditundukan dengan memperlihatkan kemampuan mengajarkan dogma-dogma agamanya. Bahkan ada orang tua si gadis yang bangga apabila anaknya menikah dengan si “pembela agama”.

Kebodohan bukan hanya milik warga desa tetangga Nurdin ini, kebodohan juga merupakan milik dari kepala desa dan aparatnya. Sikap untuk dilayan dan bukan melayanani merupakan ciri sikap kepala desa dan aparatnya hampi seluruh desa di negeri ini, merupakan indikator yang harus dimiliki oleh kepala desa dan aparatnya agar mereka dapat dipandang sebagai penguasa dan berbeda status sosialnya dengan warga desa. Kebodohan juga menjadi milik dari pihak kepolisian, kabarnya si teroris ini pernah ditangkap di jalan raya lalu dilepaskan setelah diberikan duit oleh Nurdin, maka si Nurdin pun tersenyum dan dalam hatinya berkata”goblok dipelihara”. Pimpinan Polri merasa malu atas perbuatan oknum polisi, maka diberikan photo sang teroris kepada polisi jalan raya agar tidak tertipu lagi. Ternyata sembilan tahun pun polisi masih tertipu.Tertipu nih ye, ah..jangan-jangan tertipu lagi kalau tidak segera menemukan pelaku teror lainnya.

Ketika masih hidup si Nurdin “tidak” Top menjadi berita, dan ketika mati pun dia menjadi berita. Kematian Nurdin “tidak” Top menjadi menu yang lezat bagi pers dan pengamat teroris. Karena matinya gembong ini tidak berarti negeri ini aman dari aksi teror, aksi-aksi teror tetap eksis karena para pengikutnya akan tetap beraksi bahkan diramal akan melakukan aksi yang lebih sadis dan brutal. Ideologi berkembang pada nilai-nilai kenajisan dan sasaran aksi pengeboman bukan hanya kepada pemerintah Amerika serikat dan warga asing tetapi kepada pemerintah dan warga masyarakat Indonesia sendiri. Saudara kandung dan saudara tirinya pun bisa menjadi sasaran aksi bomnya apabila bertentang dengan ideologi yang dianutnya. Jangan-jangan aparat koruptor yang sedang dipenjara akan dibom juga, kalau ini mungkin saja masyarakat akan memandang berbeda terhadap teroris, bahkan adanya pembenaran terhadap aksinya.

Artinya bahwa aksi teroris yang belum tertangkap sampai saat ini perlu diwaspadahi karena aksinya akan lebih brutal dari pada aksi-aksi sebelumnya karena terjadi perubahan ideology dan sasaran akan menjadi lebih luas.Anehnya sampai saat ini para teroris dan jaringannya belum tertangkap. Masyarakat mungkin menduga bahwa para jaringan radikalisme ditunggu sampai menjadi kelas “buaya” dan bukan kelas “cecak”, artinya dibiarkan dahulu mempermahirkan diri dengan aksi pengeboman yang mengejutkan dunia, maka barulah polisi dengan pasukan elitenya Dansus 88 beraksi. Jika yang dilawan hanya kelas “cecak” berarti tidak seruh karena tidak seimbang kemampuan dan tingkat keterampilan dari kedua pihak. Memangnya koboi.

Harapan masyarakat menghendaki jaringan teroris ini diberantas sampai ke akar-akarnya. Tetapi apabila akarnya ditanamkan kepada bayi yang masih dalam kandungan, maka sudah pasti sangat sulit diberantas. Apakah mungkin terjadi seperti itu dalam merekrut generasi terorisnya. Cara seperti ini adalah cara yang paling mudah, aman dan sistematis. Dedengkot terorisisme belum juga tertangkap, maka ada kemungkinan cara ini sudah dilaksanakan. Selama mereka belum tertangkap oleh polisi, maka semakin banyak kesempatan mereka melahirkan bayi-bayi sebagai calon teroris. Artinya polisi memberikan kesempatan kepada gembong teroris untuk menjalan misinya ini. Polisi akan semakin sulit memberantas terorisme. Polisi dianggap sebagai pembunuh bayi dan anak, maka akan semakin gawat keberadaan polisi, polisi mendapat kecaman dari komisi perlindungan anak dan kelompok peduli anak.

Pelaku bom bunuh diri dipandang oleh jaringan teroris ini sebagai pahlawan dan langsung masuk surga. Tetapi dalam perspektif Nasir Abbas bahwa pelaku bom bunuh diri ini adalah manusia tidak berguna, manusia paling bodoh karena tidak mempunyai kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dalam organisasi jaringan teroris. Si ” pengantin” cukup dikorbankan saja sebagai pelaku pembawa bom bunuh diri. Kepribadian yang tidak stabil karena kehidupannya berantakan dan ditambah dengan pengetahuan agama sangat rendah, serta ditambah lagi dengan tingkat pendidikan rendah dan putus sekolah menjadi sangat mudah didoktrinisasikan oleh para pembina dalam jaringan organisasi teroris. Para pelaku teroris yang akan dikuburkan ini saja sangat sulit dan mendapat penolakan dari warga setempat, bagaimana pula pelaku ini bisa masuk ke surga, di bumi saja ditolak. Mungkin bisa juga masuk ke surga, karena sudah sangat marahnya malaikat melihat kelakuan yanga sangat biadab sehingga ditendang sekencang-kencangnya sehingga lewat dari api neraka dan masuk ke surga. Kalau malaikat itu punya rasa emosi.

Wednesday, 16 September 2009

DIRI SOSIAL (SOCIAL SELF)

Manusia mengetahui bagaimana konsep dirinya terbentuk, dan dimana seseorang mendapatkan gambaran tentang dirinya, dan juga bagaimana mengevaluasi dirinya. Terlebih lagi bagaimana seseorang harus menyajikan atau mempresentasikan dirinya secara benar. Dalam hal ini penulis mencoba menggambarkan permasalahan tersebut dalam tulisan ini.

Interaksi Sosial dan Konsep Diri

Breen dan Kassin (1993) menjelaskan konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang ciri-ciri sifat yang dimiliki. Sedangkan Worchel (2000) menegaskan bahwa konsep diri adalah pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki individu tentang karakteristik atau ciri-ciri pribadinya.
Siapakah diri kita ? Untuk mengenal diri kita maka perlu dipelajari melalui pengalaman dari interaksi dengan orang lain, yaitu dengan menemukan apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Jadi refleted appraisal penting bagi konsep diri karena dapat menaksir diri kita dengan merefleksikan atau bercermin bagaimana orang lain menaksir kita.
Perbandingan sosial (social comparison) perlu dilakukan karena ada keraguan terhadap kemampuan atau pendapatnya atau informasi obyektif tidak ada maka dilakukan perbandingan dengan orang lain. Jadi melakukan perbandingan diri anda dari orang lain sangat penting untuk : (1) mengevaluasi diri sendiri; (2) dapat memperbaiki diri; (3) dapat meningkatkan diri sendiri. Tetapi hal yang harus disadari bahwa perbandingan sosial juga dapat memperbutruk konsep diri anda selain memperbaiki penampilan yang positif.

Harga Diri (Self Esteem)

Kalau konsep diri adalah komponen kognitif, maka harga diri adalah komponen evaluatif dari konsep diri, yang terdiri dari evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri yang dimiliki seseorang (Worchel,2000).
Michener dan Delamater (1999) mengungkapkan beberapa sumber penting dalam pembentukan atau perkembangan harga diri, yaitu pengalaman dalam keluarga, umpan balik terhadap performance dan perbandingan sosial. Sedangkan Coopersmith (1967) menjelaskan ada empat tipe perilaku orang tua dapat menningkatkan harga diri, yaitu : (1) menunjukkan penerimaan afeksi, minat, dan keterlibatan pada kejadian-kejadian atau kegiatan yang dialami anak; (2) menerapkan batasan-batasan jelas pada perilaku anak secara teguh dan konsisten; (3) memberikan kebebasan dalam batas-batas dan menghargai inisiatif; (4) bentuk disiplin yang tidak memaksa.
Umpan balik setiap hari tentang kualitas penampilan baik kesuksesan atau kegagalan akan mempengaruhi harga diri. Dengan kata lain, harga diri dibentuk berdasarkan perasaan kita tentang kemampuan dan kekuasaan untuk mengendalikan kejadian-kejadian yang menimpa diri kita. Demikian halnya, perbandingan sosial sangat besar pengaruhnya pada pembentukan penampilan kita.
Apabila kita menilai dirinya positif cenderung untuk bahagia, sehat, berhasil dan dapat menyesuaikan diri dengan orangan lain. Sebaliknya orang yang menilai dirinya negatif maka secara relatif tidak sehat, tertekan, dan pesimis tentang masa depan serta cenderung gagal. Dalam interkasi sosial maka orang yang harga dirinya rendah akan cenderung selalu gagal karena selalu beraksi terhadap kerentanan untuk terluka/tersakiti hatinya. Sebaliknya, harga diri yang tinggi lebih mengedapankan tindakan-tindakan yang dapat memperteguh dan meningkatkan hubungan dan untuk melawan peremehan yang dipersepsikan terhadap dirinya.

Kesadaran Diri (Self-Awarness)

Apa yang dimaksud dengan kesadaran diri ? Bringham (1991) menegaskan bahwa harga diri adalah derajad perhatian diarahkan ke dalam untuk memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari diri sendiri. Tetapi harus ingat bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang lebih terserap dirinya atau lebih perhatian ke dalam dirinya sendiri pada umumnya lebih mungkin menderita depresi, kecemasan, penyalahgunaan alkohol dan gangguan klinis lainnya. Namun demikian, kesadaran diri adalah hal yang sangat penting untk memhami konsep diri dan standar nilai serta tujuan yang dimiliki seseorang. Kesadaran diri yang tinggi akan bertingkah laku dalam cara-cara yang lebih konsisten dengan sikap dan nilai yang dimiliki.
Menurut Buch (1980) terdapat dua jenis kesadaran, yaitu kesadaran diri pribadi dan kesadaran diri publik. Kesadaran diri pribadi adalah ketika perhatian difokuskan pada aspek-aspek yang relatif pribadi dari diri, seperti mood, persepsi, dan perasaannya. Sedangkan kesadaran diri publik adalah ketika perhatian diarahkan pada aspek-aspek tentang diri yang kelihatan pada orang lain, seperti penampilan dan tindakan-tindakan sosial. Jadi orang yang kesadaran pribadi yang tinggi selalu memusatkan perhatian pada identitas diri dan sangat perhatian dengan pikiran dan perasaannya. Sedangkan kesadaran diri publik yang tinggi lebih menaru perhatian pada identitas sosial dan reaksi orang lain terhadap dirinya.

Presentasi Diri (Self Presentation)

Mengungkapkan diri pada orang lain disebut presentasi diri. Dalam mengungkapkan diri dilakukan pembentukan dan pengelolaan kesan agar orang lain menyukai atau mempengaruhi orang lain, atau memperbaiki posisi, atau memelihara status.
Goffman mengajukan syarat-syrat untuk mengelola kesan secara baik. Syarat-syarat tersebut adalah:


1.Penampilan muka
Yakni perlikau harus diekspresikan secara khusus agar diketahui secara jelas peran si pelaku, maka dioperlukan aspek setting yaitu serangkaian peralatan ruang dan benda yang digunakan. Aspek kedua, appearence yaitu penggunaan petunjuk artifaktual, misal pakaian, atribut dan lai-lain. Dan aspek ketiga adalah manner yaitu gaya bertingkalaku misal cara bicara, cara berjalan dan lain-lain.

2.Syarat kedua: keterlibatan dalam perannya.
Artinya aktor sepenuhnya terlibat dalam perannya.

3.Syarat ketiga : mewujudkan idealisasi harapan orang lain tentang perannya.

4.Syarat lainnya adalah mystification.
Yaitu memelihara jarak sosial tertentu diantara aktor dan orang lain.

Presentasi diri dilakukan dengan bebrapa strategi-strategi yaitu :
1.Mengambil Muka/Menjilat (Ingratiation).
Strategi ini banyak dilakukan setiap orang secara mudah.

2.Mengancam atau Menakut-nakuti (Intimidation)
Penjilat ingin disukai, tetapi intimidasi justru ingin ditakuti orang.

3.Promosi diri (Self Promotion)
Startegi ini dilakukan dengan cara menggambarkan kekuatan-kekuatan dan berusaha untuk memberikan kesan melalui prestasi.

4.Pemberian contoh / teladan (Exemplification).
Strategi ini dilakukan dengan cara memproyeksikan penghargaannya pada lejujuran dan moralitas.

5.Permohonan (Supplification).
Strategi dilakukan dengan cara memperlihatkan kelemhan atau ketergantungan untuk mendapatkan pertolongan atau simpati.

Kemampuan seseorang melakukan presentasi diri dapat berbeda pada setiap orang karena sangat tergantung pada faktor ciri sifat kepribadian yang disebut self monitoring. Bringham (1991) mengatakan bahwa self monitoring adalah suatu proses dimana individu melakukan pemantauan terhadap pengelolaan kesan yang telah dilakukannya. Jadi individu yang mampu mempresentasikan beberapa perilaku dalam situasi-situasi yang berbeda atau menyesuaikan harapan orang lain disebut high self monitors atau disebut juga pengelola kesan yang lihai (skilled impresion managers)
2009wils

Tuesday, 8 September 2009

PERLINDUNGAN ANAK ALA KAK SETO

Kak Seto dituntut oleh seorang ibu karena melakukan penculikan terhadap anaknya. Bermula dari laporan seorang bapak yang melaporkan bahwa anaknya merasa tidak nyaman tinggal bersama ibunya, dikarenakan perlakuan ibu sangat kasar terhadap anak-anaknya atau dengan kata yang sederhana bahwa telah terjadi tindak kekerasan terhadap anak. Atas dasar laporan yang disampaikan seorang bapak kepada Kak Seto, maka Kak Seto mengambil langkah secepatnya dengan menjemput anak tersebut untuk maksud mendapat perlindungan dari tindakan kekerasan yang dilakukan seorang ibu.
Dari kasus “penculikan anak” oleh Kak Seto, dapat diambil suatu hikmah yang sangat berharga menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih perduli dan ada kesadaran nasional dari semua pihak serta keinginan politik (political will) dari pemerintah bahwa permasalahan anak bukan permasalahan yang sederhana dan diperlukan suatu penanganan yang serius.


Obyek,bukan subyek

Anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu adalah titipan dari Sang Mulia kepada umat manusia untuk dibesarkan, dibimbing, dan dibina menjadi manusia yang berguna bagi umatnya. Dan anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Dalam perspektif negara, bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Pernyataan ini tidak dapat terbantahkan dan merupakan landasan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ironinya justru idiom ini hanya dipakai sebagai kalimat mutiara bagi pejabat pemerintah maupun orang yang menganggap perduli terhadap anak, tetapi dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya untuk menjaring dana baik dari pemerintah maupun bantuan sosial dari negara lain. Uang mengalir maka kegiatan dapat terlaksana dengan berbagai program keperdulian anak, dan kantong-kantong pribadi dapat menampung pundi-pundi uang. Program disusun dimodifikasi sedemikian rupa dengan berbagai teori dan konsep yang membuat masyarakat terkagum-kagum.

Kak Seto yang mengendarai Komisi Perlindungan Anak di Indonesia melakukan tindakan pemisahan anak dari ibunya lebih didasarkan pada upaya perlindungan terhadap anak yang berlandaskan pada UU Perlindungan Anak, karena amanat dari undang-undang tersebut menegaskan bahwa anak harus mendapatkan perlindungan. Dalam pasal 1 dari UU RI Nomor 23 tahun 2002 menjelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Jadi tujuan dari pada tindakan perlindungan terhadap anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Pertanyaan kita adalah apakah tindakan Kak Seto tersebut telah memenuhi kriteria dari perlindungan yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut.
Apabila menyimak pernyataan Kak Seto bahwa perlindungan yang dilakukan adalah melakukan perlindungan khusus, karena anak tersebut mendapat perlakukan tindak kekerasan dari ibunya. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh ibu tersebut harus dilakukan pemeriksaan secara obyektif yang berlandaskan pada KUHAP, artinya peran polisi harus dilibatkan dalam kasus ini untuk segera melakukan proses penyidikan. Jadi apabila belum terbukti secara hukum bahwa ibu tersebut melakukan tindak kekerasan maka tindakan yang dilakukan Kak Seto sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran hukum. Pemisahaan seorang anak dari ibunya yang dilakukan Kak Seto berarti telah melanggar hak pada setiap anak untuk mendapatkan pengasuhan dari ibunya. Karena pasal 14 dalam UU Perlindungan Anak menjelaskan bahwa pemisahan anak dari ibunya harus ada alasan hukum dan/ atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Alasan hukum yang sah harus dilakukan oleh pihak Kepolisian, tetapi dalam kasus ini pihak Kepolisian belum melakukan pembuktian adanya pelanggaran berupa tindakan kekerasan. Tidak ada alasan hukum dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 bahwa Kak Seto mempunyai kewenangan untuk melakukan perlindungan khusus kepada anak ini dengan cara melakukan pemisahan.
Tindakan pemisahan yang dilakukan oleh Kak Seto juga jelas melanggar pasal 69, bahwa perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan harus dilakukan dengan upaya : a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. Mestinya langkah pertama dilakukan oleh Kak Seto adalah memberikan penyuluhan hukum bahwa adanya peraturan perundang-undangan menegaskan adanya perlindungan khusus bagi anak dari tindakan kekerasan. Langkah kedua yang dilakukan adalah melakukan pemantauan terhadap ibu anak tersebut apakah ditemukan adanya tindakan kekerasan, dan apabila ditemukan adanya tindak kekerasan pada anak tersebut maka langkah selanjutnya adalah melaporkan kepada pihak Kepolisian untuk diambil tindakan hukum selanjutnya.
Dimana posisi dari anak tersebut dalam kerangka berpikir dan tindakan dari Kak Seto? Anak tidak ditempatkan pada posisi yang sebenarnya, anak diletakkan pada kepentingan semu dari Kak Seto yang seolah-olah untuk kebaikan dan perkembangan kepribadian si anak. Dengan memisahkan anak dari asuhan seorang ibu tentunya menimbulkan kerugian yang lebih parah bagi kedua pihak yaitu bagi anak dan bagi ibunya. Anak merasakan kehilangan rasa kasih sayang dari seorang ibu yang tentu saja sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak.Perasaan seorang ibu dipermainkan dan kewajiban seorang ibu dicabut oleh hanya seorang pribadi Kak Seto yang seharusnya melalui suatu proses hukum pada peradilan anak.


Keperdulian anak

Anak yang hidup di negeri yang berasaskan idiologi Pancasila tidak mendapatkan hak-hak seperti yang diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang secara tegas diatur sebanyak 15 pasal tentang hak-hak anak. Undang-undang dibuat dengan sempurna tetapi dalam pelaksanaan belum dilakukan secara konsekuen. Hal ini terbukti banyak kasus anak-anak Indonesia kurang mendapatkan perhatian yang serius dari Negara dan Pemerintah yang diberikan tanggung jawab besar oleh Undang-undang. Elemen masyarakat lainnya jangan terlalu banyak mengharap kepada pemerintah dan negara dengan keterbatasan baik dari aspek dana dan fasilitas fisik serata sumber daya manusia yang kualitasnya masih sangat mementingkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan anak. Pengusaha tidak hanya memikirkan keuntungan yang besar dengan memakai anak sebagai daya tarik produk dagangannya seperti kita lihat pada kasus dagang rumah realestate atau pada produk dagang lainnya. Anak orang msikin justru jumlahnya sangat besar karena kehidupan orang tuanya yang sangat miskin, sangat tidak mungkin kita menuntut banyak dari orang tuanya untuk memberikan hak-hak anak yang layak dalam hidupnya. Pembiaran terhadap kepentingan anak sudah kita lakukan saat ini, hal ini terlihat penataan lingkungan hidup yang layak bagi anak sudah tidak ada lagi di negeri yang kaya ini. Lalu anak yang berkualitas seperti apa yang akan kita dapatkan di masa yang akan datang ?

Tuesday, 16 June 2009

FORMS OF DOMESTIC VIOLENCE

Batterers use a wide range of coercive and abusive behaviors against their victims. Some of the abusive behaviors used by batterers result in physical injuries. Other techniques employed by batterers involve emotionally abusive behaviors. While these behaviors may not result in physical injuries, they are still psychologically damaging to the victim. Batterers employ different abusive behaviors at different times. Even a single incident of physical violence or the threat of such violence may be sufficient to establish power and control over a partner; this power and control is then reinforced and strengthened by non-physical abusive and coercive behaviors.
Forms of domestic violence can include physical violence, sexual violence, economic control, and psychological assault (including threats of violence and physical harm, attacks against property or pets and other acts of intimidation, emotional abuse, isolation, and use of the children as a means of control). Because they occur in intimate relationships, many kinds of abuse are often not recognized as violence. In many places throughout the world, marital rape is still not viewed as sexual assault because a husband is deemed to have a right of sexual access to his wife. Stalking, as well, has only recently been recognized as a form of violence and a severe threat to the victim.
A diagram called the "Power and Control Wheel," developed by the Domestic Abuse Intervention Project in Duluth, identifies the various behaviors that are used by batterers to gain power and control over their victims. The wheel demonstrates the relationship between physical and sexual violence and the tactics of intimidation, coercion, and manipulation that are often used by batterers.